Kilasan Sejarah
Pesantren Darussalam Rajapolah secara sejarah tidak bisa dilepaskan dari Pondok Pesantren Manbaul Ulum Jamanis. KH. Ahmad Deni Rustandi selaku pimpinan merupakan santri Jamanis pada tahun 1993.
berjumlah sekitar 500-an. Kyai Deni merupakan salah satu santrinya. Hingga kemudian sejarah tersambung, alumni Gontor 1999 itu kembali ke pesantren pada 11 Mei tahun 2004 sebagai menantu gurunya dahulu, KH. Asep Dudung.
Sebagai alumni Gontor, ada keterpanggilan melihat pesantren Jamanis hanya memiliki 40-an santri. Padahal dulu dikenal sebagai salah satu rujukan pondok pesantren di Tasikmalaya dan Jawa Barat. Dari inilah ada keinginan ikut serta mengembangkan pesantren Jamanis menjadi lebih baik.
Pengaruh Faktor Eksternal
Usaha tersebut tidak langsung direalisasikan. Langkah awal adalah meneliti penyebab semakin minimnya santri di pondok pesantren. Hingga disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah Wajar Dikdas 9 tahun menjadi salah satu penyebab utama.
Program tersebut dimulai pada tahun 1994 yang dituangkan dalam inpres no 1 tahun 1994. Bahkan direncanakan tuntas pada tahun 2008. Oleh sebab itu di tahun 2000-an program Pendidikan tersebut gencar disosialisasikan pemerintah.
Jika melihat berkurangnya siswa di Pondok Pesantren Jamanis sejak 1993 hingga 2004, maka program tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar. Apalagi sekolah negeri digratiskan.
Bagi pondok pesantren salaf yang tidak memiliki pendidikan formal, hal ini menjadi salah satu faktor penting berkurangnya siswa. Karena rata-rata akan berpindah ke lembaga pendidikan formal atau mencari lembaga pendidikan berbasis pesantren namun dilengkapi dengan pendidikan formal.
Di sinilah akhirnya muncul inisiatif dari KH. Ahmad Deni Rustandi menyelenggarakan Pendidikan formal di pesantren Jamanis. Tepatnya pada tahun 2005, ia berinisiatif membentuk program paket B.
Salah satu tujuan utama adalah membantu santri-santri agar memenuhi aturan pemerintah wajar dikdas sembilan tahun. Program ini berjalan lancar hingga usai di tahun 2006.
Mendirikan Pendidikan Formal
Namun demikian di tahun 2006 pemerintah Indonesia meluncurkan program wajar dikdas 12 tahun.Hal ini lebih mendorong pesantren-pesantren di Indonesia untuk memiliki pendidikan formal.
Kyai Deni kemudian menginisiasi lebih jauh lagi dengan menyelenggarakan SMP Islam Terpadu Manbaul Ulum di Pesantren Jamanis pada tahun 2006. Program ini ditandai dengan hadirnya Pimpinan Pesantren Gontor KH. Hasan Abdullah Sahal dan wakil bupati Tasikmalaya.
Hadirnya program tersebut membawa angin segar, program ini ternyata disambut baik oleh masyarakat, ada tambahan 32 siswa baru. Harapan untuk berkembang menjadi lebih besar.
Namun demikian ada beberapa perbedaan aspek mendasar dengan pihak pesantren yang membuat sosok yang sering dipanggil Ustadz Deni tidak bisa ikut serta melanjutkan program tersebut di pesantren Jamanis.
Perbedaan filosofis membuat beliau berpisah dengan pesantren Jamanis. Ibarat anak pisang yang harus dipisahkan agar besar, beliau memahami filosofi tersebut dengan baik untuk mengambil hikmah yang lebih besar.
Kembali ke Pangkuan Pesantren
Hingga suatu hari KH. Asep Dudung memanggil Ustadz Deni, “Bagaimana nasib 32 santri?”
Di sinilah kemudian putra dari KH. Asep Nawawi Suherman tersebut memiliki panggilan hati yang kuat mendirikan pondok pesantren untuk meneruskan amanat dan mengembangkan di tempat baru.
Namun tidak serta merta langsung mendirikan pesantren, sebagai seorang santri, Ustadz Deni kembali ke Gontor memohon nasehat dari Kyai dan diberi amanat oleh KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, “Kamu keliling ke 40 pesantren.”
Tidak ada kata selain patuh. Ustadz Deni berangkat dari satu pondok ke pondok lain. Dari Madura hingga Banten, dari yang bermodel salaf berbasis kitab kuning hingga modern. Di sini suami Teh Nunung Afiah ini seperti perlahan-lahan mengambil hikmah yang tersimpan di setiap pesantren.
Beberapa yang masih melekat hingga sekarang adalah pesan dari Pimpinan Pesantren Darul Qolam Gintung, “Saya tidak bisa memimpin pesantren tanpa guru, yaitu Pesantren Gontor.” Bahkan Abuya Muhtadi, Cadasari, rela istikharah dan menyampaikan pesan bilamana mendirikan pesantren harus sampai jenjang perguruan tinggi. Dan banyak pesan lainnya yang begitu berpengaruh dalam perjalanan pesantren Darussalam Rajapolah.
Trah Pesantren
Salah satu pengaruh besar dalam pendirian pesantren adalah trah yang mengalir dalam diri KH. Ahmad Deni Rustandi bersama istri Hj. Nunung Afiah Al Hafidzah. Keduanya memiliki jiwa pesantren.
Hj. Nunung Afiah Al Hafidzah merupakan putri pertama dari Hj. Nurlela, putri pendiri Pondok Pesantren Manba’ul Ulum Jamanis. Bahkan sang istri sedari kecil selalu hidup menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.
Begitu juga dengan KH. Ahmad Deni Rustandi, buyut beliau adalah KH. Mas Masur, juga KH. Mad Sahri yang hidup di abad 17 dan fokus berdakwah di Garut semasa penjajahan Belanda.
Hal ini menjadikan sepasang suami istri tersebut begitu kuat dan kokoh mewujudkan mendirikan pesantren untuk menyebarkan ilmu yang sudah didapat.
Pemilihan Tempat
Pada masa ini intensitas ke Gontor mencapai tiga kali selama sebulan. Salah satunya mengkonsultasikan tempat berdirinya pesantren.
Saat itu ada beberapa tanah yang bisa dijadikan objek pembangunan pesantren. Ada yang terlalu jauh aksesnya, ada yang belum diperkenankan masyarakat karena sudah hadir pondok pesantren.
Hingga kemudian ada opsi kandang ayam di kampung Narunggul, desa Tanjungpura, Kecamatan Rajapolah. Inilah tanah kelahiran Ibu dari Ustadz Deni Rustandi.
“Di situ saja,” KH. Abdullah Syukri Zarkasyi menyampaikan. Bisa dikatakan sejak awal pembangunan pesantren, peran serta para kyai Gontor memberikan pengaruh yang sangat besar.
Satu Persatu Berkorban
Mendirikan pesantren butuh pengorbanan besar. Di Gontor seringkali disebutkan, “Bondo bahu piker lek perlu sak nyawane pisan”. Yang artinya berkorbanlah harta, tenaga, dan pikiran, kalau perlu hingga korban nyawa.
Satu persatu kemudian berkorban untuk pendirian pesantren. Di antaranya sang istri, Hj. Nunung Afiah dengan memberikan mas kawin emas sebesar 50 gram. Merelakan harta satu-satunya ketika itu untuk dijual.
Bahkan yang menjual sendiri adalah sang istri karena sebagai suami tidak bisa menerima hal tersebut. Teh Nunung langsung menyampaikan uang hasil penjualan emas, “Ini A.”
Berikutnya adalah pengorbanan orang tua Ustadz Deni Rustandi dengan mewakafkan sebidang tanah seluas 1.400 meter persegi yang awalnya sebagai usaha bagi sepasang suami istri. 16 Maret kandang diisi dengan ayam, pada tanggal 21 Maret 2007 diwakafkan untuk pondok pesantren Darussalam Rajapolah. Bahkan seremonial tersebut dihadiri oleh dua kepala desa, Tanjungpura dan Tanjungmekar. Juga dihadiri oleh sesepuh, kyai, dengan jumlah total sekitar 100 orang.
Peran Masyarakat Narunggul
Masyarakat Narunggul dibantu warga Pamokolan memiliki peranan cukup besar dalam awal pendirian. Bahkan ketika mengelola kandang ayam tenaga masyarakat tidak mau dibayar. Semua gratis.
Hingga masyarakat bahu membahu memberikan makanan untuk rewang. Setiap hari masyarakat silih berganti dengan jumlah antara 30-50 orang.
Yang ajaib, ketika dipanen sebulan berikutnya, keuntungan penjualan ayam mencapai tiga kali lipat. Bahkan meskipun sudah dibagikan sebagian, tetap memberikan keuntungan yang luar biasa.
Bagi Ustadz Deni Rustandi hal ini sebuah cobaan. Apakah tanah tersebut dilanjutkan menjadi pondok pesantren, atau tetap menjadi lahan usaha kandang ayam karena untung besar. Niat sudah bulat, kandang ayam dialih fungsikan menjadi pondok pesantren.
Dari Kandang Menjadi Madinah
Kandang ayam benar-benar dirobohkan. Dibangun gedung pesantren pertama kali dengan nama Madinah. Penamaan ini sebuah ilustrasi ingin membangun sebuah peradaban baru seperti layaknya Rasulullah SAW membangun kota Madinah.
Satu persatu bantuan datang, alumni Gontor menyuplai bahan bangunan. Begitu juga dengan bantuan tenaga dari masyarakat, dan banyak bantuan lainnya.
Bahkan ketika itu KH. Syamsul Hadi Abdan selaku pimpinan Pondok Pesantren Gontor hadir bersama Ust. Yunyun dan rombongan mengendarai mobil Alphard Silver. Secara moril hal ini sangat membantu.
Bahkan masyarakat begitu senang karena dikira hadir seorang pejabat pemerintah meninjau pembangunan pesantren. Tepat di bulan Juni gedung Madinah selesai dibangun.