RA Kartini, Pemahaman Al-Qur’an, dan Pendidikan yang Mencerahkan Bangsa
Oleh: Fitri Masturoh
(Guru Pondok Pesantren Darussalam Rajapolah Tasikmalaya, Mahasiswi Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor)
www.darussalam-tasik.or.id - Raden Ajeng Kartini sering diposisikan sebagai ikon emansipasi perempuan, namun gagasan dan perjuangannya jauh melampaui itu. Dalam surat-suratnya yang kemudian diterbitkan menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menyuarakan keresahan mendalam terhadap pendidikan Islam saat itu yang hanya mengajarkan cara membaca Al-Qur’an tanpa pemahaman makna. “Kami mengaji, tetapi tidak tahu arti. Itu yang menyedihkan hati kami,” tulisnya¹. Suara itu datang dari kegelisahan seorang perempuan yang mencari makna dalam agama, bukan sekadar ritual tanpa ruh.
Pertemuan dengan KH. Sholeh Darat menjadi titik balik penting dalam hidupnya. Sang ulama besar dari Semarang ini menafsirkan Al-Qur’an dalam bahasa Jawa dengan aksara Pegon, sebuah terobosan yang memungkinkan masyarakat awam, termasuk kaum perempuan, memahami isi Al-Qur’an secara langsung². Kartini memohon agar tafsir ini dituliskan dan disebarluaskan. KH. Sholeh Darat pun menulis Faidhur Rahman fi Tafsiril Qur’an bil Jawi, meskipun karyanya sempat mendapat tekanan karena dianggap berbahaya oleh penjajah Belanda—bukan karena isinya, tapi karena kekuatannya dalam membebaskan pikiran umat³.
Hubungan Kartini dan KH. Sholeh Darat bukan sekadar relasi guru dan murid. Di dalamnya ada aliran ruh keilmuan dan cinta akan kebenaran. Kartini menemukan bahwa Islam tidak hanya mengatur urusan akhirat, tapi juga mengajarkan keadilan, kedamaian, dan pemberdayaan sosial. Pemahaman keislamannya tumbuh menjadi lebih utuh—mengakar dalam tradisi, tapi terbuka terhadap realitas zaman⁴.
Transformasi pemikiran Kartini mencerminkan pendewasaan spiritual. Ia tidak hanya mengkritik penindasan terhadap perempuan, tetapi juga mendorong pendidikan yang membebaskan akal dan menumbuhkan akhlak. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai perempuan cerdas yang menjadikan pena dan surat sebagai alat perjuangan⁵. Dalam surat-suratnya, tampak jelas bahwa perubahan sejati tidak cukup hanya dengan kebijakan atau protes, tetapi harus berangkat dari kesadaran ruhani yang mendalam.
Pendidikan yang dicita-citakan Kartini bukanlah yang semata-mata melatih keterampilan teknis. Ia memimpikan pendidikan yang membentuk nalar kritis, mengasah nurani, dan memperkuat keyakinan kepada Allah SWT. Gagasan ini selaras dengan nilai-nilai pendidikan Islam kontemporer: pendidikan yang membangun manusia seutuhnya—ilmu, iman, dan akhlak⁶.
Semangat Kartini seolah mengajak kita untuk mereformasi pendidikan Islam, bukan hanya dalam kurikulum, tetapi dalam worldview atau cara pandang. Juga perempuan bukan hanya objek pendidikan tetapi subjek yang aktif dalam menuntut ilmu juga membangun masyarakat, yang juga sebagai "Madrasatul Ula" untuk anak-anaknya. Dan bahwa belajar agama bukan sekadar hafalan, tapi pencarian makna. Kemudian membumikan Al-Qur’an—seperti yang dilakukan KH. Sholeh Darat—adalah langkah penting untuk membangun umat yang tercerahkan.
Di tengah tantangan pendidikan hari ini, gagasan Kartini tetap relevan: pendidikan yang tidak sekadar mencetak lulusan, tetapi membentuk manusia yang merdeka jiwanya, kuat imannya, dan luhur akhlaknya.
Footnote:
1. Kartini, R.A. (1911). Habis Gelap Terbitlah Terang. Balai Pustaka.
2. NU Online. (2021). Antara RA Kartini dan Kiai Sholeh Darat Semarang.
3. Kementerian Agama RI. (2023). Kartini, Santriwati Kesayangan Mbah Sholeh Darat.
4. UIN Sunan Ampel. (2023). Transformasi Kesadaran Kritis Kartini Menuju Kesadaran Spiritual.
5. Toer, P.A. (2003). Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
6. Munir, M. (2021). Pemikiran R.A. Kartini tentang Pendidikan Perempuan dan Relevansinya dengan Pendidikan Islam Kontemporer. Profetika: Jurnal Studi Islam, 22(1), 18–29.
7. Astutik, D., & Sulistiyani, S. (2021). Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak R.A. Kartini dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Thullab: Jurnal Mahasiswa Studi Islam, 1(2), 117–128.