SANTRI DAN KEMERDEKAAN: DARI PESANTREN UNTUK INDONESIA EMAS 2045

18/08/2025 | 12 kali
Acara+Tahunan

SANTRI DAN KEMERDEKAAN: DARI PESANTREN UNTUK INDONESIA EMAS 2045
Oleh Dr. KH. Ahmad Deni Rustandi, M.Ag
(Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Rajapolah Tasikmalaya)

Kemerdekaan Indonesia yang kini memasuki usia ke-80 merupakan anugerah besar yang patut disyukuri. Delapan puluh tahun yang lalu, para pendiri bangsa dengan gagah berkorban demi meraih kemerdekaan. Sebagai santri dan umat Islam, syukur kepada Allah adalah respons pertama atas nikmat ini. QS Ibrahim:7 mengingatkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu...” sementara Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah.” Oleh karena itu, kita wajib menghargai jasa-jasa para pahlawan, ulama, dan kiai dengan cara nyata: menjaga persatuan, belajar sungguh-sungguh, dan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi umat dan bangsa.

Kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajahan, melainkan tentang tanggung jawab mengisinya. Bung Karno pernah berkata: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Tantangan sekarang adalah kemiskinan, kebodohan, perpecahan, krisis moral, dan hilangnya adab. Inilah saatnya pesantren berperan sebagai benteng moral dan pusat peradaban.

Di Darussalam Rajapolah, kami mengusung kurikulum terpadu: Model Gontori (untuk karakter, kemandirian, bahasa, kepemimpinan), Kurikulum Dinas Pendidikan (menjawab kebutuhan akademis formal), Salafiyah (penguatan dasar keilmuan Islam), dan Tahfidz (menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup). Ini bukan sekadar sistem, melainkan misi mempersiapkan generasi pembaharu.

QS Ali Imran:110 menyebut: “Kalian adalah umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia—menyuruh kepada yang maʿrūf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” Rasulullah Saw. juga mengingatkan: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” Sebab itu, santri tidak cukup hanya cerdas secara intelektual, tetapi harus kuat secara spiritual dan sosial—itulah bentuk nyata mengisi kemerdekaan.

Zaman telah berubah. Kita hidup di era disrupsi: teknologi berkembang pesat, namun diikuti tantangan seperti hoaks, krisis identitas, hilangnya budaya literasi, dan lunturnya adab kepada ilmu dan guru. Santri tidak boleh menjadi korban perubahan, melainkan pelopor perubahan. QS Al-Anfal:60 mengajarkan: “Persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi...” Kekuatan masa kini tak hanya berupa militer, tetapi juga ilmu pengetahuan dan teknologi, karakter dan adab, kemampuan komunikasi dan literasi digital, serta kecerdasan sosial dan spiritual—itulah atribut dari insan ulul albab yang berpikir logis dan tetap teguh pada nilai-nilai wahyu.

QS An-Nisā’:75 menegaskan bahwa kemerdekaan adalah amanah untuk membela yang lemah dan sekaligus perjuangan menegakkan keadilan. Pesan “Jas Merah – Jangan sekali-kali melupakan sejarah” menjadi pengingat agar kita tidak tercerabut dari akar perjuangan. Bangsa yang merdeka tidak boleh kembali tertindas—baik oleh penjajahan asing maupun oleh bangsanya sendiri melalui kebodohan, perpecahan, dan kemiskinan.

Mari kita isi kemerdekaan ini dengan syukur, tanggung jawab, dan pengabdian. Jadilah santri yang cinta ilmu, hormat kepada guru, dan setia menjaga NKRI. Dengan semangat persatuan dan ridha Allah Swt., insya Allah Indonesia akan mencapai masa depan gemilang menuju Indonesia Emas 2045.

Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia. Merdeka! Allahu Akbar!


Share:
Berita & Artikel Lainnya